Minggu, 03 Januari 2016

Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Banten




Seringkali, meski tidak selalu, yang dijadikan sebagai penanda atau penciri untuk menunjuk kekhasan alias keunikan suatu daerah atau tempat tertentu adalah makanan alias kuliner daerah tersebut. Contohnya Bandung identik dengan peyeum-nya, Madura dan Betawi dengan soto-nya, dan Jogja dengan gudeg-nya. Sedangkan untuk kasus Banten, selain sate bandeng, makanan atau kuliner yang juga diidentikkan dengan kekhasan Banten adalah nasi sumsum dan rabeg wedhus. Selain tentu saja ada kuliner rakyat Banten yang telah lama akrab dengan lidah kita, yaitu nasi uduk.


Sementara itu, secara sosiologis dan antropologis, aneka kuliner di Nusantara juga mencerminkan keragaman dan kekayaan kultural masyarakat Nusantara itu sendiri. Makanan rakyat, demikian ujar salah-seorang pengajar di Jurusan Antropologi UGM, Lono Simanjuntak, adalah salah-satu cerminan unsur budaya yang cukup sentral karena menunjukkan penanda keragaman pencerapan tubuh manusianya, yang dalam hal ini adalah lidah dan selera, yang ternyata tidak sama alias memiliki kekhasan dalam setiap etnis dan masyarakat di Nusantara. Contohnya perbedaan antara orang Jawa yang menyukai manis dengan orang Padang yang menyukai pedas.


Hal lain yang juga menarik adalah keragaman dan kekhasan makanan atau kuliner setiap etnis atau masyarakat di Nusantara tersebut erat kaitannya dengan lingkungan alam dan kondisi sosial masyarakatnya. Sebut saja sebagai contohnya unsur-unsur atau bahan-bahan yang menjadi makanan alias kuliner suatu masyarakat atau etnis-etnis tertentu di Nusantara berkait erat dengan khasanah kekayaan alam dan kondisi lingkungan yang membentuk budaya masyarakatnya. Contohnya, masyarakat di Papua cukup akrab dengan kuliner dan makanan yang terbuat dari sagu dan masyarakat di Madura dengan jagung.


Yang juga tak kalah remeh, yang dalam hal ini secara ekologis, ada banyak ragam makanan atau kuliner masyarakat di Nusantara yang dalam proses pembuatannya ramah lingkungan alias tidak merusak secara ekologis, semisal ragam makanan atau kuliner dan jajanan rakyat yang menggunakan daun jati dan daun pisang sebagai kemasan dan pembungkusnya, dan lain sebagainya.

Ragam Budaya Banten dalam Kuliner

Seperti di masyarakat-masyarakat atau etnis-etnis lainnya di Nusantara, seperti telah disebutkan, ada banyak ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten yang dapat menjadi penanda atau penciri kultural masyarakat Banten, semisal nasi sumsum, nasi uduk, dan rabeg wedhus, untuk menyebut beberapa contohnya saja. Dan rupa-rupanya, keragaman makanan atau kuliner masyarakat Banten itu, juga mencerminkan keragaman dan kekayaan kultural, yang pada saat bersamaan, juga menjadi penciri alias penanda aspek-aspek sosial dan historis makanan atau kuliner itu sendiri.

Sebagai contoh, rabeg wedhus konon dalam sejarahnya merupakan menu makanan favorit para Sultan Banten, yang dapat dikatakan sebagai menu wajib di keraton Kesultanan Banten. Sementara nasi sumsum dan nasi uduk merupakan makanan dan kuliner masyarakat Banten kebanyakan alias masyarakat Banten pada umumnya. Meski untuk konteks saat ini, diferensiasi tersebut telah lebur, hilang, dan mencair seiring perubahan sosial-politik masyarakat dan maraknya kehidupan masyarakat kapitalis mutakhir yang nyaris seragam. Singkatnya, meskinya mulanya kuliner atau makanan tertentu merupakan menu kelas tertentu pula, sekarang sudah tidak lagi berlaku, alias telah mengalami demokratisasi makanan dan kuliner dalam masyarakat Banten, seperti juga dalam masyarakat-masyarakat atau etnis-etnis lain di Nusantara.

Ragam kuliner dan makanan masyarakat Banten tersebut, dapat kita jumpai di beberapa tempat, khususnya di wilayah Serang, semisal di kawasan Pasar Lama (yang juga terkenal dengan jajanan rakyat bubur sumsumnya itu), Royal, kawasan Ciceri dan lain sebagainya. Dan khusus untuk nasi uduk dan bubur sumsum itu, kita dapat menjumpainya di waktu-waktu malam hari, meski tidak selalu.

Budaya Sosial-Keagamaan Kuliner Masyarakat

Seperti juga di masyarakat-masyarakat atau etnis-etnis lain di Nusantara, ada ragam makanan atau kuliner tertentu masyarakat Banten yang dibuat pada waktu-waktu tertentu pula, semisal ragam makanan dan kuliner yang dibuat pada hari-hari raya atau hari-hari suci keagamaan dan pada bulan Ramadhan alias bulan puasa ummat Islam. Contohnya adalah apem, rangginang, ketupat, kolak, gemblong, tape, jipang, dodol, dan masih banyak lagi yang akan menjelma deret panjang bila diabsen satu persatu.

Setidak-tidaknya, pembuatan ragam makanan dan kuliner masyarakat Banten pada waktu-waktu tertentu, semisal pada hari-hari raya atau hari-hari suci keagamaan dan pada bulan puasa itu, mencerminkan dekatnya nuansa religius dan keagamaan dalam tradisi atau budaya pembuatan ragam makanan dan kuliner dalam masyarakat Banten itu sendiri.

Selain itu, ada juga ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten yang dibuat, disajikan, dan disantap dalam upacara-upacara selamatan atau riungan, semisal nasi kuning, nasi ketan, bubur beras, dan lain sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai penanda bahwa memang ragam makanan atau kuliner tertentu masyarakat Banten memang dikhususkan sebagai “sajian” yang sifatnya sakral dan dalam rangka upacara keselamatan semisal ruwatan atau selamatan anak yang baru lahir dan membuat rumah.

Kuliner Sebagai Identitas dan Kekayaan Budaya dan Pariwisata

Tak ragu lagi, selain aspek sosial dan keagamaan ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten itu, juga akan menjadi daya-tarik dan kekayaan yang sifatnya “kebudayaan dan kearifan lokal” dan juga dapat menjadi daya-tarik pariwisata Banten itu sendiri. Kita sudah maphum, ketika orang mengunjungi sebuah tempat wisata, mereka juga tak semata-mata ingin menikmati keindahan atau kekhasan suatu daerah yang dikunjungi, melainkan juga ingin mengetahui dan merasakan kekhasan makanan dan kuliner daerah atau tempat yang mereka datangi dan mereka kunjungi.

Jika demikian, maka tak ragu lagi, keragaman kuliner atawa jajanan masyarakat Banten seperti nasi sumsum, rabeg wedhus, nasi uduk, bubur sumsum, sate bandeng, dan yang lainnya itu, akan menjadi penanda, penciri, atau penunjuk budaya dan identitas apa yang akan kita sebut kekhasan Banten sebagai lanskap kultural dan pariwisata. Bahkan, dan di sini kita boleh bangga, sate bandeng dan nasi sumsum, sudah cukup populer bagi masyarakat-masyarakat lain di luar Banten, bahkan wisatawan asing. Namun demikian, masih banyak ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten lainnya yang belum cukup dikenal oleh masyarakat atau orang dari luar Banten, semisal nasi uduk Banten dan bubur sumsum.

Dan sebelum tulisan ini disudahi, sekali lagi tulisan ini ingin menekankan, bahwa ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten, semisal nasi sumsum dan rabeg wedhus, selain sate bandeng yang sudah populer itu, tak bisa diingkari, adalah juga salah-satu identitas dan paten sosial-budaya masyarakat Banten yang akan menjadi penciri atau penanda apa yang akan kita sebut sebagai Banten itu sendiri. Bahwa Banten juga tidak hanya silat, magic atau debus, tetapi kearifan lokal dan keragamanan budayanya, yang dalam hal ini salah-satu contohnya tercermin dalam keragaman makanan atau kuliner masyarakatnya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar